[Sambungan dari: Perjalanan Kembali (2). Bagian ketiga dari empat bagian]
“We will only keep people from fleeing the countryside into urban favelas, villas miseries, shantytowns and squatter villages when the productivity gap is closed between what brute labor on the soil can accomplish and what advanced technology makes possible today—and will make possible tomorrow.” —Alvin Toffler
Ritual membubuhkan roh
Di Indonesia, gagasan untuk ‘kembali ke kota asal’ atau ‘kembali ke desa’ mulai mendapat perhatian. Salah seorang yang telah berhasil menjalankannya adalah desainer produk Singgih Susilo Kartono (l. 1968) yang lahir dan besar di Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah. Ia memutuskan kembali menetap di desa kelahirannya pada tahun 1994, setelah menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Desain Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1992. Keputusannya itu diambil karena terinspirasi oleh buku Alvin Toffler (l. 1928), Future Shock (1970) yang menyadarkannya bahwa walau tinggal di pelosok, seseorang akan tetap bisa berkarya bila terkoneksi secara global melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Bermula dari sebuah rumah kontrakan sederhana ia mulai membangun usahanya yang diberinya nama Piranti Works. Ada keinginan besar di dalam dirinya untuk membidani lahirnya produk kayu karya Indonesia yang bisa menjadi ikon desain dunia. Alasannya, karena sebagai negara yang sangat kaya dengan kayu, Indonesia belum menghasilkan rancangan produk kayu yang mendunia. Singgih tak begitu peduli impiannya itu akan terwujud atau tidak, ia hanya berusaha merancang karya terbaiknya. Namun akhirnya pada 2005 ia berhasil melahirkan radio kayu Magno yang kemudian mendunia (Gb. 8). Dengan bergulirnya waktu, ia menjadi semakin yakin bahwa ‘desa adalah masa depan’.
Magno berasal dari kata ‘magnify’ pada magnifying glass (kaca pembesar), yang juga merupakan produk pertama yang dirancangnya. Dengan nama itu, Singgih memaknainya sebagai mencermati sesuatu yang detail, layaknya peruntukan dari sebuah kaca pembesar. Benda-benda kecil, sederhana, dan indah yang dikerjakan dengan tingkat ketukangan (craftsmanship) yang tinggi akan menyedot perhatian orang pada detailnya [eksterior radio Magno yang terbuat dari bahan kayu lokal itu seluruhnya dikerjakan dengan tangan (handcrafted)]. Dengan jumlah produksi yang dibatasi hanya 1.500 unit per tahun [85% di antaranya diekspor ke Australia, Asia Timur, Eropa, dan Amerika], perhatian pada kualitas bisa sepenuhnya dicurahkan.
Melalui rancangannya, Singgih ingin menyampaikan bahwa pada setiap produk terkandung ideologi, spirit, dan pesan. Sebuah produk semestinya dipandang sebagai makhluk hidup yang dengan cara pasif membawa pesan dan makna spiritual tertentu. Masyarakat modern sering kali abai akan hal itu, produk diperlakukan sebagai robot atau hamba. Relasi antara pengguna dengan produknya itu seyogyanya bukan sekadar hubungan subjek-objek. Produk adalah bagian integral dari kehidupan.
Kemajuan teknologi dan persaingan dalam perekonomian telah menciptakan produk dengan fitur-fitur canggih. Di satu sisi, hal itu membuat berbagai tugas dalam hidup menjadi lebih mudah untuk ditunaikan, tapi di sisi lain menciptakan perilaku tertentu: membentuk model perilaku subjek-objek, dan pada saat yang sama menciptakan penyekat dan hubungan yang sifatnya temporer. Dalam pandangan Singgih, perilaku ini merupakan ekses dari gaya hidup industrial modern.
Memadukan material alami dalam produk-produk modern merupakan ritual membubuhkan roh ke dalamnya. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kepekaan manusia terhadap alam, seperti di masa lalu.
Kewajiban moral
Dalam merancang, Singgih berusaha menciptakan produk-produk yang tak-sempurna dan belum-selesai, dengan cara meniadakan fitur-fitur yang tidak perlu. Ketaksempurnaan diciptakan secara sengaja dan terencana, yang diharapkan akan membuka peluang bagi para pengguna produknya untuk menjadi sangat terlibat dengannya.
Semua produk Magno tidak dilapisi (coated). Singgih hanya menerapkan minyak kayu sebagai finalisasi. Penyelesaian ini tidak akan benar-benar melindungi produknya. Namun, akan memberikan kesempatan kepada pemiliknya untuk “merasakan” kayunya; juga guna menjaganya, dimana perawatan oleh pemiliknya adalah satu-satunya perlindungan yang real.
Ia tidak sepakat dengan model pendekatan bebas-perawatan. Orang seharusnya menjaga dan merawat produk yang dibelinya, sebagai kewajiban moralnya. Sementara bentuknya yang sederhana dipercayainya akan meningkatkan siklus kehidupan suatu produk. Dan karakteristiknya yang rapuh (fragile) dimaksudkan agar penggunanya terhubung dalam dengan produknya. Ini juga merupakan salah satu upaya untuk mengurangi berkembangnya masyarakat penghasil-limbah.
Kerja merancang memiliki pengertian lebih daripada sekadar menghasilkan produk yang bagus, yang diproduksi dan dikonsumsi dalam jumlah kolosal. Melainkan, desain semestinya menjadi jalan untuk memecahkan atau meminimalisasi suatu masalah. Selain itu, pemakaian material alami itu juga mestinya sesuai dengan kepemilikan yang psiko-materialistik dan memaksimalkan material berbasis lokal. Produk-produk kerajinan kayu berukuran kecil yang fungsional akan memberikan kontribusi penting bagi penghematan material dasarnya, serta membuka lapangan kerja, masalah yang sering harus dihadapi di desa-desa di Indonesia.
“Wabi-sabi is a beauty of things imperfect, impermanent, and incomplete.” —Leonard Koren (l. 1948)
Belajar dari kayu
Mengenai pilihan memakai kayu sebagai materi dasar, Singgih mengutarakan:
“Kayu memiliki keseimbangan. Padanya terkandung kekuatan sekaligus kelemahan, kelebihan tetapi juga keterbatasan, dan kekesatan sebagaimana juga kelembutan. Dibanding bahan sintetis, saya merasakan adanya roh di dalamnya. Keindahannya muncul dari perjalanannya. Bagaimana ia bertumbuh merupakan proses menakjubkan, terekam dalam garis-garis lingkaran usianya (age lines) (Gb. 10). Garis-garis itu bercerita mengenai momen-momen baik dan buruk yang dilaluinya. Urat dan teksturnya yang indah adalah kisah kehidupannya. Ia materi yang sempurna karena ketaksempurnaannya. Karakteristiknya mengajarkan kepada kita perkara kehidupan, keseimbangan, keterbatasan.”
Karenanya, Singgih merasa bertanggungjawab mengganti pohon yang telah dipakainya, sebagai jaminan bahwa kegiatannya itu tidak merusak alam. Caranya adalah dengan menanam kembali setiap pohon yang telah diambilnya dari hutan. Jumlah pohon yang dipilih dan ditanamnya kembali itu didasarkan pada konsumsi tahunannya, kepantasan usianya untuk menjadi dewasa serta ditebang, dan kebutuhan luas lahan per pohonnya.
Estimasinya, 40 orang yang dipekerjakannya, mampu menanam kembali 1-2 hektar lahan. Desa Kandangan pada masa itu hampir tidak memiliki hutan. Populasinya sekitar 4.000 orang. Seandainya bisa mempekerjakan seluruh penduduknya, hal ini tentu akan meniadakan pengangguran; tapi yang lebih utama, dengan program regenerasi hutan ini akan terwujud lebih banyak lagi hutan.
Dan sebagai bonus, ada pemasukan sebesar 2.500–3.000 dolar setiap bulannya, yang cukup untuk menopang kehidupan 10 keluarga pekerjanya. Bila mempekerjakan 1.000 warga desa, penerimaan per bulannya akan sebesar 250.000–300.000 dolar—lebih dari cukup guna menunjang kehidupan seluruh desa.
Dalam hal regenerasi hutan, selain mempersiapkan bibitnya sendiri, Singgih juga bekerjasama dengan SMP Gunung Sumbing. Mereka bersama-sama membuat kurikulum praktis dalam bidang generasi lingkungan hidup.
Sebelumnya, murid-murid sekolah ini membantu menanam bibit. Pada saatnya, bibit-bibit itu bertumbuh menjadi 1.000 pohon muda yang siap tanam. Penanamannya dilakukan di sekitar sekolah; para murid memang mendambakan lingkungan sekolahnya dikelilingi pepohonan. Seluruh kegiatan ini didanai sepenuhnya oleh sebagian penerimaan Singgih dari usaha kerajinannya.
Keseimbangan, tradisional dan modern
Dalam melangsungkan usahanya, Singgih mempraktikkan jalan New Craft. Proses manufakturnya menggunakan ketrampilan tradisional sebagai sarana utama produksi, serta teknik manajemen modern dalam mengelola kegiatannya. Sistem dasar New Craft memastikan bahwa setiap tahapan produksi memenuhi standar operasi manufaktur, standar kualitas, serta standar materi yang dipakai dan hasil akhirnya (output).
Pertama-tama, setiap rancangan atau produk baru dianalisis guna menciptakan pedoman produksi (manual). Aktivitas manufaktur pun diimplementasikan berdasarkan pedoman itu. Tak ada sistem atau pun teknologi baru dalam metode New Craft ini. Namun demikian, metode dasar manajemen produksi modern ini rupanya tidak banyak digunakan dalam bidang manufaktur kerajinan. Dalam kerajinan, faktor utamanya adalah sumber daya manusia di belakangnya—sangatlah penting tiap pengrajin memiliki sikap yang tepat terhadap kerajinan.
Metode New Craft memperhitungkan faktor-faktor ini. Seseorang yang baru bekerja bisa langsung melompat ke kegiatan produksi. Bagi mereka yang mempunyai bakat kerajinan, dalam beberapa hari saja sudah akan memperlihatkan tingkat ketukangan dan kemampuan yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Pendekatan dengan metode New Craft ini memiliki beberapa keuntungan. Dengan cara demikian, siapa pun bisa mempersiapkan pendirian pabrik kerajinan di sebuah desa yang warganya tidak memiliki latar belakang kerajinan. Ini menjadi alternatif sumber pendapatan baru yang dapat menampung surplus tenaga kerja pada saat kegiatan pertanian menurun. Juga bisa diimplementasikan untuk menumbuhkan kembali atau membangkitkan suatu usaha kerajinan yang sedang mengalami penurunan.
Konsekwensinya, dengan metode New Craft akan dihasilkan produk-produk berkualitas tinggi yang memiliki potensi bersaing di pasar ekspor. Dengan menjualnya di pasar ekspor, kegiatan produksi akan berkelanjutan serta memberikan penghasilan yang dapat memajukan pertumbuhan ekonomi desa.
Pada 1997, desain radio kayu Magno memperoleh penghargaan dari International Design Resource Award (IDRA), Seatle, Amerika. Indonesia Good Design Selection diterimanya dari Indonesia Design Center pada 2005, lalu Good Design Award dari Pemerintah Jepang pada 2008, Design for Asia Award 2008 dari Hong Kong Design Center, dan Design Plus Award dari Ambiente-Frankfurt Germany pada 2009. Penghargaan demi penghargaan mengalir dengan sendirinya tanpa upaya apa pun untuk sengaja meraihnya.
Sepeda pagi
Singgih tak ingin berpuas diri pada kesuksesan Magno. Sejak 2015, ia menginisiasi gerakan global yang dinamainya Spedagi, berasal dari kata “sepeda pagi”. Slogannya It’s time back to village.
Bersepeda pagi di tengah alam pedesaan dilakukan Singgih pada awalnya untuk menurunkan kadar kolesterol di dalam tubuhnya. Kegiatan ini ternyata menuntunnya menemukan cara unik untuk mengembangkan desa. Lahirlah ide untuk merancang sepeda bambu (Gb. 12), sepeda yang kemudian menjadi ikon Spedagi. Singgih yakin keunikan sepeda bambu, keindahan alam desa, dan kenangan akan desa sesungguhnya adalah “magnet” yang bisa menarik orang datang kembali ke desa.
Di balik keindahan dan kedamaiannya, desa sebenarnya juga menyimpan banyak masalah. Permasalahan desa yang semakin menumpuk terus menggerogoti potensi desa. Warga desa saat ini tidak mampu lagi mengurai berbagai permasalahan yang dihadapi akibat brain drain dari desa ke kota.
Menurut Singgih, perlu upaya untuk mengajak para “pemikir” agar mau tinggal di desa dan membantu memecahkan masalah yang ada. Dengan pendidikan dan keahlian yang dimiliki, kehadiran pihak luar bisa menolong masyarakat desa mengatasi permasalahannya sekaligus mengembangkan potensi desa. Kehadiran pihak luar ke desa menjadi dukungan untuk menyadarkan masyarakat desa tentang pentingnya menjaga berbagai kearifan lokal yang kini mulai ditinggalkan.
Panggilan ‘kembali ke desa’ ini dinyatakannya demikian:
“Spedagi merupakan sebuah gerakan yang bertujuan melakukan revitalisasi desa, membawa desa kembali menemukan jati dirinya sebagai komunitas lestari dan mandiri. Peran desa terhadap keberhasilan upaya membangun kehidupan yang berkelanjutan sangat signifikan di saat ini dan masa mendatang. Kehidupan yang lestari di bumi tidak akan berhasil diraih jika populasi manusia masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Redistribusi populasi dari kota ke desa adalah sebuah keharusan jika kita ingin kehidupan di bumi ini berkelanjutan.”
“Hidup di desa memberikan peluang untuk menekan serendah mungkin emisi karbon, memperoleh makanan sehat dari sumber terdekat, menghasilkan sumber energi sendiri dan juga membangun hubungan sosial yang baik. Desa memberikan peluang lebih besar untuk meraih kehidupan berkualitas yang sesungguhnya, ketika kesejahteraan manusia dan kesejahteraan alam bisa dibangun bersamaan. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, di mana batas-batas geografis bukan halangan lagi, merupakan momentum dan kesempatan yang tepat untuk kembali ke desa dan menghidupkannya kembali.”[4]
———
[3] Magno Design, http://www.magno-design.com/, diakses 21 Juli 2015.
[4] Spedagi: Sepeda Bambu untuk Revitalisasi Desa. Spedagi, http://dev.spedagi.org/, diakses 19 Juli 2015.
***
Untuk membaca tulisan-tulisan lainnya, sila klik: Hanny Kardinata.
“Keberhasilan merancang logo banyak dikaitkan sebagai misteri, intuisi, bakat alami, “hoki” bahkan wangsit hingga fengshui. Tetapi saya pribadi percaya campur tangan Tuhan dalam pekerjaan tangan kita sebagai desainer adalah misteri yang layak menjadi renungan.”