Kemungkinan Sejarah Baru Desain Grafis di Normal Baru

Sebuah telaah kemungkinan sejarah baru desain grafis di Normal Baru melalui pembacaan peristiwa-peristiwa sejarah dunia dan kaitannya dengan desain grafis. Tulisan ini mendasarkan pembacaannya pada buku Desain Grafis Indonesia Dalam Pusaran Desain Grafis Dunia (2015).

 

Peran desain grafis dalam aktivisme dapat lebih dalam daripada sekadar poster dan T-shirt,” kata antropolog desain Stanford Dori Tunstall. Desain grafis tidak hanya menyoal visual yang tangible, tapi juga tentang perancangan ‘nilai sosial’ yang disepakati bersama oleh suatu pergerakan aktivisme tanpa memberi sekat terhadap disiplin tertentu. Dalam ranah sosial, keprofesian desain memang bersinggungan dan berkombinasi dengan bidang maupun disiplin lain. Dan dalam sejarahnya, keprofesian desain grafis juga ‘hadir’ dalam peristiwa-peristiwa dunia, bahkan dalam taraf tertentu dapat memberi dampak nyata bagi perubahan sosial budaya masyarakat di berbagai belahan di dunia.

Esai ini merenungkan pengaruh pandemi Covid-19 sebagai peristiwa global pada disiplin desain grafis lebih dari sisi tangibility atau visual, melainkan keprofesian serta persinggungannya dengan konteks sosial dan budaya. Peristiwa ini menjadi momentum penentu sejarah kita kini yang akan dibaca nanti, sebagaimana peristiwa dunia yang pernah terjadi sepanjang sejarah. Lantas, senada dengan semangat Hanny Kardinata pada pengantarnya di buku Desain Grafis Indonesia Dalam Pusaran Desain Grafis Dunia (2015), yaitu sebuah upaya mempertemukan desainer grafis muda dengan sejarahnya, maka, mari terlebih dahulu menelusuri kembali beberapa peristiwa dunia dan kaitannya dengan desain grafis.

 

‘Kehadiran’ desain dapat kita telusuri sejak Revolusi Industri di Inggris menjelang akhir abad ke-18. Salah satu pemicu revolusi ini adalah penyempurnaan mesin uap James Watt di tahun 1769 yang digunakan untuk mempercepat produksi barang, yang kemudian menggenjot industrialisasi secara masif di berbagai sektor industri. Hal ini juga mendorong dimulainya era komunikasi massa dan penyempurnaan industri periklanan sejak ditemukannya mesin cetak Gutenberg pada tahun 1450. Mesin typesetting linotype pun lahir untuk menangani tuntutan dalam memproduksi buku dan media massa dengan kuantitas tinggi. Pada era ini pun tercipta font Didot dan Bodoni yang sangat khas media massa dan dapat kita telusuri pengaruhnya hingga kini.

 

Peristiwa penting selanjutnya adalah kemunculan akademi desain Bauhaus di Weimar, Jerman, pada 1919 setelah usainya Perang Dunia 1 (PD1). Visi dan praktik artistik Bauhaus adalah menggabungkan estetika dan fungsi pragmatis sebuah produk desain untuk meningkatkan nilai artistik tanpa mengorbankan fungsi. Pendirinya, arsitek Walter Gropius, mengedepankan perpaduan fine arts dengan kriya tanpa memberi sekat, sebagaimana yang dimantapkan dalam Manifesto Bauhaus yang ditulis di tahun yang sama:

… So let us therefore create a new guild of craftsmen, free of the divisive class pretensions that endeavoured to raise a prideful barrier between craftsmen and artists! Let us strive for, conceive and create the new building of the future that will unite every discipline. …

Sumbangsih pemikiran dan karya Bauhaus memang berkaitan dan dipicu oleh PD1. Frances Ambler, penulis The Story of Bauhaus (2018) dalam wawancaranya dengan The Local, menuturkan, “Dorongan untuk Bauhaus muncul dari kengerian Perang Dunia Pertama dan keinginan untuk melakukan berbagai hal dengan cara yang berbeda. Mereka menggunakan seni dan desain untuk mencoba dan menanggapi kebutuhan waktu mereka. Masyarakat selalu menghadirkan kebutuhan baru, jadi dengan cara itu [Bauhaus] selalu relevan. ” Kemudian, menurut John V. Maciuika di bukunya Before the Bauhaus: Architecture, Politics, and the German State, 1890-1920 (2005), eksistensi Bauhaus, baik sebagai institusi dan akademisinya juga mengambil peran pada pergerakan politik saat itu, terlebih saat era dimulainya Perang Dunia 2 (PD2), ketika muncul sentimen mengenai perbedaan nilai artistik Bauhaus yang bersitegang dengan pandangan artistik Nazi, yaitu Romantisme.

 

Setelah melewati tahun-tahun depresi, ekonomi dunia mulai naik ke masa kejayaanya. Dekade 1950-an menjadi awal dari rekonstruksi ekonomi dunia baru yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS). Perusahaan-perusahaan AS pun mengambil posisi terdepan dalam banyak industri. Imbasnya terhadap sektor desain grafis adalah dimulainya era keemasan di bidang industri periklanan. Dekade 1960-an adalah coming of age dunia periklanan, ditandai dengan penyempurnaan format komunikasi pada konten televisi, penggunaan copywriting, dan penyesuaian fotografi untuk meningkatkan daya jual produk dan menghasilkan karya dengan tingkat kreativitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Era ini dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup, konsumerisme dan pandangan sosial politik, oleh sebab itu, kehadiran iklan dianggap penting karena ia mencerminkan semangat inovasi, kecanggihan, dan tren.1

 

Industri periklanan tidak hanya menyokong kemakmuran suatu negara, tapi juga mempunyai peran penting dalam keterlibatannya pada peristiwa politik di era 1950-1970. Iklan dapat membawa isu yang dianggap sensitif ke dalam ranah budaya pop masyarakat. Contoh konkrit yang juga menarik adalah kompetisi perjalanan ke luar angkasa AS dan Uni Soviet. Dalam kasus ini, Uni Soviet sebenarnya unggul dan serba pertama: manusia pertama yang ke luar angkasa, satelit pertama serta stasiun luar angkasa pertama. Namun hal ini tidak ada apa-apanya ketika Neil Armstrong menginjakkan kaki ke bulan. Hal ini berkat strategi pemasaran, public relations, media placement dan periklanan yang baik. Pada Juli 1969, 94% televisi Amerika disetel ke pendaratan Apollo 1 di bulan. Misi ini diliput secara luas oleh pers dengan lebih dari 53 juta penduduk Amerika Serikat menonton tayangan ini, serta total 650 juta pemirsa di seluruh dunia menyaksikannya. Peristiwa ini pun menjadi peristiwa budaya pop di 1970-an.

 

Di 1970-an, kemajuan di bidang periklanan juga terjadi di Indonesia. Kala itu Orde Baru baru saja ditegakkan, mengubah tatanan politik, serta membangkitkan sektor-sektor ekonomi yang sempat terpuruk. Salah satu dampaknya adalah meningkatnya gaya hidup masyarakat yang porosnya bergerak mengikuti tren global. Kantor-kantor agensi periklanan di Indonesia mulai dibuka seiring kebijakan baru di bidang Penanaman Modal Asing yang membawa masuk perusahaan-perusahaan multinasional ke Indonesia sehingga daya saing produk dan kebutuhan sehari-hari meningkat.

InterVista dan Matari menjadi agensi periklanan Indonesia yang juga menjadi penanda pada zamannya. InterVista menjadi perusahaan periklanan pertama yang berafiliasi dengan perusahaan periklanan asing yaitu Ogilvy, serta menjadi perintis masuknya iklan komersial di TVRI. Penggagas InterVista, Wicaksono Nuradi, didapuk sebagai perintis periklanan modern Indonesia. Sedangkan Matari menjadi agensi iklan pertama yang membawa Clio Award untuk Indonesia lewat arahan tata artistik Cahyono Abdi. Matari juga kemudian yang mengonstruksi pemisahan kinerja studio periklanan (wujud servis Above The Line) dan studio desain grafis (wujud servis Below The Line). Kala itu juga muncul Studio Decenta di Bandung (1973) yang berisikan seniman linta disiplin: A.D. Pirous (seni lukis), G. Sidharta (seni patung), Adrian Palar (desain interior), Sunaryo (seni patung), T. Sutanto dan Priyanto Sunarto (seni grafis). Decenta melahirkan portfolio beragam seperti menangani kebutuhan desain grafis untuk pameran di Pekan Raya Jakarta, sampai ke desain produk yang menangani dekorasi arsitektur Convention Hall.

 

Pada 1980-an, muncul revolusi digital yang ditandai oleh pergeseran teknologi mekanik-analog ke teknologi digital. Era ini membawa orang-orang lebih dekat dengan teknologi sehari-hari, serta budaya populer. Salah satunya adalah kehadiran MTV yang menjadi bentuk budaya populer global. MTV tidak bisa lepas dengan visual yang disajikan, karena gayanya menyerupai Pop Art dan lantas dekat dengan anak muda. MTV juga menjadi salah satu media yang meliput jatuhnya Tembok Berlin (1989) yang merupakan simbol berakhirnya Perang Dingin. Kehadirannya di salah satu peristiwa paling seminal dalam sejarah Eropa modern ini juga menjadi dampak evolusi yang telah dialami media.

 

MTV yang diminati secara global juga menjembatani masyarakat dunia ke globalisasi di 1990-an. Globalisasi memungkinkan percepatan pemasaran secara mendunia karena didukung oleh kehadiran internet. Lantas keterlibatan desain grafis sendiri dengan adanya internet secara substansial adalah memudahkan kontak langsung dengan potensi klien lintas spasial. Hal ini memunculkan tren visual yang juga global (walaupun sekaligus menyusutkan ragam visualnya) serta meningkatkan intensitas komunikasi rakyat dunia.

Media di 1990-an juga meliput peristiwa dunia saat itu di mana konteks HAM, terorisme, kebebasan dan teknologi menjadi narasi yang hebat dan banyak diperbincangkan di forum berbasis World Wide Web. Maka dari itu dekade ini banyak sekali melahirkan pemikiran kritis dalam menanggulangi atau merespons isu sosial. Maraknya pemakaian komputer grafis oleh desainer juga mengembangkan ragam gaya visual yang muncul di media. Di Indonesia sendiri, hal ini bisa ditemui dengan banyaknya praktik pada majalah, print ad, maupun buku desain (atau buku yang secara serius dikerjakan oleh desainer) yang beredar di masyarakat, contohnya perkembangan ragam visual dan pemakaian iklan cetak yang memenangkan penghargaan Citra Pariwara pada rentang waktu 1988 – 1996.

 

Kulit Muka Gelandangan di Kampung Sendiri oleh Emha Ainun Najib (Pustaka Pelajar:1995)

 

Perkembangan gaya visual pada kulit muka penerbit alternatif Yogyakarta menjadi beragam. Seperti kulit muka buku Gelandangan di Kampung Sendiri (1995) oleh penulis Cak Nun yang bekerjasama dengan pelukis Dede Eri Supria dalam desain tata letak kulit mukanya.

Bersamaaan dengan ini, percetakan juga mengalami perkembangan yang ditandai lewat maraknya cetak buku berwarna-penuh oleh penerbit seperti Gramedia dan Elex Media Komputindo. Terbitnya majalah dengan tajuk lingkungan hidup dengan landasan desain grafis pada tahun 1994 yang oleh desainer Enrico Halim menjadi salah satu tanda perkembangan dan penggenapan praktik keilmuan dan profesi desainer. Hal ini juga ditandai dengan evolusi perangkat desain yaitu Adobe Photoshop 1.0 yang dirilis pada 1990.

Era internet melahirkan desainer dunia yang berpengaruh. Salah satunya Stefan Sagmeister yang karya-karyanya di cap sebagai tidak ortodoks dan provokatif oleh American Institute of Graphic Arts (AIGA). Siegmeister membuktikan bahwa kultur internet dapat dimanifestasikan kembali oleh desainer dengan meleburkan nilai produksi dan aktivisme desain ke dalam satu tuntutan.

 

Dekade 2010 yang masih kemarin sore adalah waktu pertama kita dapat meruang lintas spasial. Kita juga menyimak hadirnya teknologi cerdas yang diakses penuh oleh publik, meningkatnya pemahaman literasi visual digital, munculnya teknologi virtual, augmented reality hingga media sosial. Desain grafis masuk ke dalam tatanan ini dengan mengonstruksi dan menavigasi visualnya, dan oleh karenanya timbul gejala pergeseran norma dan juga aktivitas keseharian manusia. Kita mulai bergeser dari tren yang sifatnya surface (produk) dan lebih melekat kepada aktivisme yang banyak kita temukan di visual platform bernama Instagram.

Instagram terus mengekspansi fitur-fiturnya sejak pemakaiannya yang kian marak. Desain grafis bergerak seiring dengan keunikan media sosial yang menguntungkan, tapi juga di satu sisi membabakbelurkan, ruang fisik industri ritel. Era ini juga menggenjotkan industri kreatif dan desainer grafis merupakan profesi yang bekerja dalam konstruksi ini. Saya pikir, sumbangan desain grafis di era ini bukan lagi produk, atau gerakan, atau sosok desainer tertentu, tapi lebih menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan esensial terhadap kehidupan seiring teknologi menggeser nilai-nilai norma masyarakat.

 

Sampailah di 2020. Kini, kita sedang berada di persimpangan peristiwa mengancam peradaban manusia. Pandemi Covid-19 ini membawa perubahan pada ragam tatanan kehidupan, beberapa diantaranya mungkin bersifat sementara, tetapi yang lain mungkin menjadi situasi yang baru. Sangat penting untuk dapat memahami situasi ini sebagai tantangan maupun peluang baru, dan bagaimana mereka dapat saling membantu, beradaptasi, memitigasi, dan menerima bahwa dunia, seperti yang kita tahu, sedang berubah. Dengan adanya peraturan social distancing dan karantina wilayah, orang-orang kian berpaling ke internet. Yang kemudian bisa dimanfaatkan dari perubahan ini adalah melihat segala kemungkinan dan kritis tentang mengedepankan aktivitas digital dan aktivitas luar ruangan sebagai bentuk penerapan setelahnya. Satu hal, sebagaimana peristiwa dunia sebelumnya, kini kita sedang melihat adanya perubahan baru dan dalam hal ini terhadap desain grafis.

Apa saja kemungkinan ‘desain grafis baru’ di ‘normal baru’? Kita masih hanya bisa berspekulasi. Satu hal yang jelas adalah kita dapat membaca kembali kebutuhan sosial yang berdampak pada nilai sebuah produk, terutama karena kini muncul pengoperasian teknologi baru yang diupayakan lebih efisien dan efektif.

Di ranah praktik kerja sendiri akan ada lonjakan dalam pekerjaan jarak jauh (remote). Hal ini didasari oleh kegiatan Work from Home (WFH) yang sudah dijalani oleh warga Indonesia sejak pertengahan Maret lalu. Dampak dari kerja jarak jauh ini sendiri adalah adanya pelonggaran dalam kontrak kerja yang pastinya harus disepakati bersama.

Basis pekerjaan digital akan semakin praktis dengan sistem jarak jauh. Kita bisa menduga bahwa proyek desain tata letak, ilustrasi, desain antarmuka dan sebagainya akan semakin meningkat, tetapi quality control terhadap praktik maupun proyek desain yang implementasinya produk tidak akan berubah, seperti desain kemasan, branding ataupun cetak-mencetak. Hal ini dikarenakan masih banyaknya gairah orang untuk bergiat keluar rumahnya, atau membeli barang ke toko konvensional, atau keinginan pergi melihat pameran, seminar, dan acara lainnya yang pengalamannya tak sanggup disediakan oleh ruang virtual.

Momentum ini juga sepertinya akan meningkatkan produksi dan penilaian konten berbasis ‘pengalaman’ seperti daily vlogging, reaction, unboxing dan tasting; budaya yang sudah muncul di akhir 2010-an. Ke depannya, bentuk konten reaksi ini akan terus berkembang baik dari segi perpanjangan durasi dan peningkatan kualitas fisik. Tapi juga sebelum itu memang harus ada konvensi atau paling tidak musyawarah skala nasional terkait bagaimana desain grafis menghadapi disrupsi yang berbasis digital sebagai imbas dari revolusi industri 4.0, dan bahkan pandemi ini. Hal ini juga tidak melulu bertumpu dan menunggu para pemangku kepentingan di industri desain grafis karena penyelesaian atas gangguan ini hanya satu hal, hal lainya masih banyak seperti birokrasi, implementasi, sampai pengabdian masyarakat.

Akan tetapi saya pun melihat bahwa perubahan sosiokultural yang mengutamakan digital pada masa ini tidak akan mematikan industri maupun individu di ranah penerbitan maupun percetakan. Justru mungkin akan sebaliknya, orang akan jengah dengan kemajuan dan kenyamanan teknologi digital dan virtual dan akan kembali membutuhkan pengalaman fisik, atau lazim kita kenal dengan ‘hasrat kebendaan’ dan ‘kepemilikan’ yang tidak sepenuhnya bisa kita miliki pada produk berbasis digital.

 

Maka, di akhiran ini, kita bisa berpikir sejenak bahwa momentum desain-itu-hadir juga diiringi dengan perubahan dan pergolakan zaman. Melalui peristiwa zaman yang selaras dengan perkembangan desain, saya ingin membingkai penguakan sejarah ini agar lagi-lagi kita bisa mengingat bahwa desain grafis dapat memecahkan masalah-masalah melalui pendekatan kemanusiaan. Dengan demikian, desain grafis tidak memproduksi objek semata, tapi juga dapat menyelesaikan pertanyaan maupun masalah yang lebih esensial. Salah satunya adalah dengan menerapkan nilai baru pada desain grafis yaitu dengan membangun praktik dan pemikiran desain yang cenderung mengutamakan empati sebelum kemudian menjadi sebuah gagasan.

Jika kita mendesain untuk memecahkan masalah sesama umat manusia, terlebih di pademi ini, kita juga harus merancang solusi yang melibatkan empati sebagai prinsip dasar. Hal ini akan menghadirkan solusi yang tidak saja termanufaktur dan terkesan dingin, tapi juga menciptakan keintiman kita sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, nampaknya teknologi pun  tidak akan pernah benar-benar menggantikan peran desainer grafis dari segi produksi maupun pemikiran yang berimplikasi pada kehidupan nyata. Selama kita masih menghargai interaksi sosial tersebut, sejarah desain grafis baru pun akan ada di setiap normal baru.

 

Rouzel Waworuntu Saad

disunting oleh Ibrahim Soetomo

 


Sumber:

 

Kardinata, H. (2015). Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia. Jakarta: DGI Press

Pembuka

https://ecampusontario.pressbooks.pub/graphicdesign/chapter/chapter-1/

 

(https://eyeondesign.aiga.org/designs-role-in-activism-can-go-deeper-than-posters-and-t-shirts/)

 

x https://www.theverge.com/2014/4/22/5636754/mad-men-in-space-the-ads-that-sold-nasas-golden-age

 

1 https://hbswk.hbs.edu/item/restoring-a-global-economy-19501980

 

 

 

 

Dekade 1980-an

https://books.google.co.id/books?id=ZaM04DMwK3gC&pg=PA84&lpg=PA84&dq=mtv+visual+style&source=bl&ots=LCjWakdXxH&sig=ACfU3U3dSgb-8fi4clJ5OaLgkugbOBfcaQ&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjRwsrJ7tHpAhU47XMBHQVkDq8Q6AEwD3oECAYQAQ#v=onepage&q=mtv%20visual%20style&f=false

 

Dekade 1990-2000

https://medium.com/@3PTsComm/design-through-the-decades-the-evolution-of-graphic-design-over-the-last-50-years-and-beyond-617a20f8b61d

 

https://www.diacedesigns.com/a-brief-history-of-graphic-design-software/

 

https://www.aiga.org/medalist-stefan-sagmeister

 

https://link.springer.com/article/10.1007/s003300000657

 

https://inspiredology.com/graphic-design-through-the-decades-the-00s/

 

https://99designs.com/blog/design-history-movements/nostalgia-in-design/

 

https://medium.com/@cspenn/whats-the-difference-between-social-media-and-new-media-71f7f5ae1eea

 

https://ro.ecu.edu.au/ecuworks/6626/

 

https://sencanada.ca/content/sen/Committee/411/OLLO/rep/rep05oct12-E.pdf

 

https://www.bloomsbury.com/uk/the-internet-9781847882998/

 

https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17439884.2011.588606?journalCode=cjem20

 

https://www.thenation.com/subject/internet-and-new-media/

 

 

 

Dekade 2010

(https://archinect.com/news/article/150072988/is-instagram-changing-the-way-we-design-the-world)

 

https://www.bdcnetwork.com/blog/how-instagram-changing-design-industry

 

https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2018/jul/12/ready-for-your-selfie-why-public-spaces-are-being-insta-designed

 

https://www.fastcompany.com/90444313/these-design-trends-ruled-the-2010s-its-time-to-let-them-go

 

https://99designs.com/blog/design-history-movements/evolution-of-design-2010-2020/

Quoted

Make your interactions with people transformational, not just transactional.

Eve Vogelein