Train-set yang Apa Adanya (1)

KESAHAJAAN SEORANG TOKOH SENI DAN DESAIN 

Oleh: Hanny Kardinata

[Bagian pertama dari dua bagian]

“Jika kepribadian berdasarkan teritorial, yang manakah kepribadian Indonesia itu, apakah yang Jawa, yang Sumatera, Papua dan seterusnya.”

—Priyanto Sunarto (1947–2014)

Memulai dari yang sepele
Pada tahun 2014, lembaga pengarsipan Desain Grafis Indonesia (DGI) genap tujuh tahun usia pelayanannya bagi komunitas desain grafis di tanah air (13 Maret 2007–13 Maret 2014). Untuk sekadar memperingatinya, pada 4–6 April 2014 diselenggarakan acara bertajuk ‘7UJUH TAHUN DGI’ di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta berupa gelar karya, gelar wicara, dan peluncuran buku. Sesi pertama gelar wicara yang berlangsung pada 5 April 2014 dengan tajuk ‘Catat, Koleksi, Arsip’, menghadirkan narasumber Priyanto Sunarto, Yongky Safanayong (1950–2015), dan Iwan Gunawan, dipandu oleh Arif Priyono S.A. sebagai moderator.

Para pembicara bergantian memaparkan manfaat dan pentingnya melakukan pengarsipan karya supaya jejak perjalanan desain grafis di Indonesia dapat ditelaah sebagai rujukan dan dilanjutkan oleh generasi penerus. Ketika ada pertanyaan mengenai bagaimana cara membangkitkan dan memupuk semangat mendokumentasi, Priyanto misalnya menganjurkan agar memulainya dengan mengoleksi benda-benda sederhana yang mudah didapat. Seperti bungkus rokok. Atau kemasan makanan. Bahkan dengan mengumpulkan barang yang kelihatannya sepele, seumpama pensil.

Mencari sampai ketemu
Seusai acara yang padat dihadiri oleh para desainer muda itu, Priyanto menghadiahkan sebuah kado ulang tahun untuk DGI yang khusus dibawanya dari Bandung. Ia meminta saya membukanya. Kado yang dibungkus layaknya sebuah permen raksasa itu sedari tadi sudah tampak menggoda untuk segera diketahui isinya. Bagian depannya bertuliskan ‘Selamat ulang tahun ke-7 DGI. Pri S.’ [Pri S. adalah penanda diri (inisial) yang biasa ia cantumkan pada seluruh karyanya].

Serentak dibuka, meloncatlah tiga buah borondong besar berbentuk bola! Ruang galeri pun riuh oleh gelak tawa dan tepuk tangan. Momen ini menggambarkan betapa kocak dan usilnya Priyanto. Ia memang selalu saja memiliki keinginan menebar canda di antara rekan-rekannya. Menurut isterinya, Euis Sukmadiana, kalau Priyanto sudah punya keinginan, meskipun hanya borondong (makanan khas Jawa Barat), isterinya akan dimintanya untuk mencarinya sampai dapat. Penjual borondong itu akhirnya baru ditemukan sekitar jam 07.00 malam di Leuwi Panjang (keluarga Priyanto memang tinggal di Bandung).

Maka tak ada seorang pun yang mengira bahwa perjalanan hidupnya yang senantiasa diwarnai dengan canda dan tawa itu harus terhenti lima bulan kemudian. Pada 17 September 2014 pukul 13.00 wib ia berpulang saat masih dalam perawatan di RS Santo Borromeus, Bandung karena komplikasi dari sakit diabetesnya.

1. Priyanto Sunarto (1947–2014). Ilustrasi: Triyadi Guntur, 2014.

Menurut saja
Saya mengenal Priyanto secara langsung pada akhir 1970-an, sewaktu bersamanya dan rekan-rekan lainnya mempersiapkan berdirinya Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) [yang belakangan dikenal dengan nama Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (Adgi)]. IPGI kami bentuk guna mempromosikan dan mengembangkan kebanggaan berprofesi sebagai desainer grafis [Baca: Pernyataan Diri, pada bab Mengikuti Jalan, h. ..]. Seiring berlalunya waktu, bersama Priyanto—juga Syahrinur Prinka (1947–2004), dan Wagiono Sunarto (adik Priyanto yang biasa dipanggil Gion)—kebekuan yang terjadi selama puluhan tahun antara perupa Jogja dan Bandung seperti mencair begitu saja dan berganti dengan keakraban. Atmosfer kebersamaan yang melingkupi rapat-rapat pendirian IPGI, juga persiapan penyelenggaraan pameran perdananya, ‘Grafis‘80’ di Mitra Budaya, jalan Tanjung, Jakarta (24–30 September 1980), tak lepas dari figur Priyanto yang renyah dan kerap membawa suasana segar. Bersama Prinka, mereka berdua sering dijuluki sebagai “double trouble”. Dan bertiga bersama Gion sebagai The Three Musketeers. Tapi lebih sering lagi dikenal dengan sebutan The Three Stooges.

2. Poster Pameran Gambar Cetak Saring, Priyanto Sunarto, cetak saring, 1975.

Priyanto lahir di Magelang, 10 Mei 1947 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara. Keluarga Soenarto barangkali bisa dikatakan keluarga yang tidak biasa. Sang ayah, R.S. Soenarto adalah seorang dokter tentara, dan anaknya, Priyanto, adalah seorang seniman. Fakta bahwa ayah dan anak memilih profesi yang jauh berbeda tentu menarik untuk dicari sebabnya. Ternyata, meski sang ayah mengabdi sebagai dokter, Priyanto lahir dan tumbuh di dalam keluarga yang memiliki apreasiasi tinggi terhadap dunia seni. Keluarga ini memberi perhatian khusus pada aktivitas menggambar dan bermusik. Profesi ayahnya itu menyebabkan mereka selalu berpindah-pindah kota, yang membuat mereka sekeluarga selalu berada dalam situasi baru. Ini tentunnya memperkaya pengalaman anak-anak di keluarga ini dan membentuk mereka menjadi pribadi yang bergaul luas.

Saat masih SMA, Priyanto pernah belajar menggambar kepada Dukut Hendronoto atau yang akrab dipanggilnya Pak Ooq. Di tempat inilah ia berkesempatan bertemu dengan banyak seniman. Kegemarannya menggambar dan keinginannya menjadi pelukis dirintisnya dengan melanjutkan pendidikan tingginya di FSRD ITB pada tahun 1965. Tiga tahun sesudah itu ia bertemu dengan Prinka yang ternyata adalah adik dari seorang temannya. Pada tahun 1973, Priyanto berhasil menyelesaikan pendidikan strata 1 dan meraih gelar sarjana pada bidang seni rupa, dengan membuat karya tugas akhir ilustrasi untuk puisi-puisi Danarto (l. 1941), Sutardji Calzoum Bachri (l. 1941), dan George Orwell (1903–1950).

3. Sampul buku Kumpulan Sajak “O”, Priyanto Sunarto, cetak saring, 1973.
[Klik untuk memperbesar]

 

 

4–5. Halaman-halaman isi buku Kumpulan Sajak “O”. [Klik untuk memperbesar]

Pri, demikian saya biasa memanggilnya, memang adalah pribadi yang jenaka. Ia segera saja menjadi sohib yang tidak saja baik hatinya, tapi juga penuh perhatian. Kepribadiannya yang lurus, cepat akrab, tak berjarak, dan membumi, selalu mengundang rasa nyaman siapa saja yang berada di dekatnya. Ia adalah magnet bagi setiap orang, senantiasa menarik dan mendekap mereka yang berada di sekitarnya dengan penuh kehangatan. Mungkin tak disadarinya, bahwa dengan pembawaannya itu Priyanto telah menjadi semacam pengikat batin, atau pemersatu bagi desainer-desainer poros Jakarta–Bandung–Jogja.

Ia dikirim ke dunia untuk menerangi, membawa serta garis-tangannya sebagai guru yang tak segan membagi ilmunya kepada ratusan anak didiknya. Sebagai pengajar di FSRD ITB, Priyanto mengabdikan dirinya 34 tahun 3 bulan lamanya. Mulanya serabutan, baru belakangan ia fokus mengajar di Jurusan Desain Grafis. Sepanjang kurun waktu itu sesungguhnya ia telah menyentuh jalan hidup begitu banyak murid-muridnya. Walau pada awalnya tak sepenuhnya berdasarkan keinginannya sendiri, ia melakoni perannya sebagai pengajar desain grafis dengan kesungguhan hati dan dedikasi yang tinggi.

Sebetulnya seusai studinya di Studio Desain Grafis ITB—ia salah satu lulusan pertamanya—Pri ingin bekerja di Jakarta. Tapi rupanya ada godaan untuk mengamalkan ilmunya kembali ke kampus yang dicintainya itu. Provokatornya adalah gurunya sendiri, A.D. Pirous (l. 1932). “Saya menurut saja karena masih kecil,” jelasnya dalam sebuah wawancara[1]. Maka jadilah ia akhirnya menetap di Bandung. Tapi memang begitulah Pri yang apa adanya; ia mengikuti saja kemana situasi menghendakinya berperan.

Termasuk ketika ia diajak bergabung dalam Decenta (Design Center Association). Decenta, sebuah biro desain yang didirikan pada 1973 oleh A.D. Pirous (seni lukis), G. Sidharta (seni patung), Adrian Palar (desain interior), Sunaryo (seni patung), T. Sutanto, dan Priyanto (seni grafis/desain grafis). Berbeda dengan model pendidikan di ITB waktu itu yang berpaling ke Barat (Modernisme), Decenta justru berkiblat ke Timur dan memiliki misi untuk mencari keindonesiaan.

“Kita justru membicarakan Krishnamurti, Suryomentaram dan semua filosofi Timur.”[1] 

Landasan estetik mereka adalah ‘berdialog dengan masa lalu’. Dialog dibutuhkan agar keindonesiaan mereka tak sekadar kosmetika. Masa lalu dimaknai sebagai rujukan yang menuntun seseorang dalam kehidupannya di masa kini. Di Decenta, Pri merasa seperti berada di rumah sendiri, tempat yang nyaman baginya untuk membicarakan keindonesiaan tanpa harus berseberangan dengan mereka yang memiliki perspektif berbeda. Dengan demikian ia bisa dengan tenang belajar dan menggali informasi demi informasi guna menemukan corak keindonesiaan, spirit yang terus dibawanya hingga ke akhir perjalanannya berkarya.

Dalam perkembangannya kemudian, selain membantu A.D. Pirous membuka Program Studi Desain Grafis di ITB (1973) serta menjadi pengajar tetap di sana, Pri juga berperan dalam merintis tumbuhnya beberapa lembaga pendidikan seperti Studio Komunikasi Grafis dan Seni Grafis Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Program Studi Desain Grafis Universitas Trisakti, Fakultas Desain Universitas Widyatama Bandung, Politeknik Seni Yogyakarta, serta Program Studi Desain Komunikasi Visual Universitas Pembangunan Jaya Jakarta.

 

———
[1] Hapsoro, Chabib Duta. Identitas Keindonesiaan dalam Elemen-elemen Estetik Kelompok Decenta: Representasi Praktik Depolitisasi Orde Baru dalam Bidang Kebudayaan. Chaduha, https://chaduha.wordpress.com/2015/06/29/identitas-keindonesiaan-dalam-elemen-elemen-estetik-kelompok-decenta-representasi-praktik-depolitisasi-orde-baru-dalam-bidang-kebudayaani/, diakses 10 November 2015.

***

[Bersambung »]

Quoted

“Keberhasilan merancang logo banyak dikaitkan sebagai misteri, intuisi, bakat alami, “hoki” bahkan wangsit hingga fengshui. Tetapi saya pribadi percaya campur tangan Tuhan dalam pekerjaan tangan kita sebagai desainer adalah misteri yang layak menjadi renungan.”

Henricus Kusbiantoro