Keterangan: Kemasan Indomie Mi Goreng edisi bulan Ramadhan (tahun 2021) yang cukup viral di media sosial. Konteks momen sebagai latar penerapan unsur dan prinsip visual “serupa tapi tak sama”, dan dalam lini produk yang sama. Dua kemasan ini didistribusikan di waktu yang sama. Keduanya saya beli sekaligus di toko yang sama, dan di waktu yang juga sama. Foto: Koskow (2021).
Serupa Tapi Tak Sama: Perbincangan Rintisan (1)
Anak kembar sering dikenali dalam hal serupa tapi tak sama, mirip tapi juga memiliki perbedaan. Contoh lain, daun. Bentuk daun di sebuah pohon memiliki keserupaan, namun setiap daunnya tak sama persis satu sama lain. Fenomena “serupa tapi tak sama” kiranya cukup sering kita jumpai, dalam percakapan sehari-hari, sewaktu menemuinya di media, atau sewaktu menjumpai langsung berbagai obyek yang mengandung hal tersebut.
Bincang Latar: Arah Berangkat
Tulisan ini memilih membincangkan desain kemasan (bolehlah beserta desain label atau etiket pada kemasan). Perbincangan tersebut bermula dari berbagai pengalaman. Pertama, terkecoh sewaktu menyimak sekilas sebuah desain kemasan yang saya kira jenis produk Y ternyata jenis produk N. Misal, saya kira kaleng lem sepatu, ternyata kaleng kopi.
Kedua, terbalik dari pengalaman pertama, yakni menjumpai kemiripan atau keserupaan pada berbagai desain kemasan oleh-oleh yang biasanya identik dengan kelokalan, kedaerahan, atau budaya (mau disebut vernakular, bolehlah).
Ketiga, membaca tugas akhir (S1) desain komunikasi visual (dkv) tentang fenomena kemiripan pada desain kemasan, baik yang meneliti langsung aspek kemiripan, maupun yang sebatas menyinggungnya. Dan berbagai muasal ketertarikan lain.
Lalu saya bertanya-tanya, kok yang sering muncul dalam perbincangan yakni tentang kemiripan, kenapa tidak sebaliknya (ketidakmiripan). Dari jurus kekayaan intelektual kemiripan bisa (di)kena(kan) pasal hukum sebagai bentuk praktik pelanggaran hak cipta, sebaliknya mampu untuk tidak mirip diganjar sebagai anak idaman. Pendapat saya, nanti dulu, jangan terburu mendakwanya ke sana. Bolehlah kita lihat hak cipta merupakan salah satu pilar manusia-individu (lembaga) sebagai pusat, sebaliknya dalam vernakular dunia bersama itulah yang menjadi pusat atau orbitnya. Boleh jadi demikian.
Sependapat dengan Bambang Sugiharto bahwa hak cipta penting terutama untuk melacak asal-usul. Seperti perkataan seorang teman, bahwa tiap usul pasti ada asalnya. Kesadaran untuk berani mengatakan keterpengaruhan atau asal inilah yang lebih ugahari, termasuk menyampaikan penggunaan berbagai referensi sewaktu mendesain.
Lantas saya mengingat-ingat tentang prinsip & metodologi desain, bahwa salah satu yang cukup getol dengan perbedaan (kebaruan) yakni desain modern. Ilustrasi dari tetangga serumpun, seni murni, kiranya bisa menggambarkannya dengan lebih jelas. Dalam seni murni salah satu penafsiran seni kontemporer adalah tentang bagaimana kearifan masalalu, misal tradisi, diaktualkan dan diberi bentuk di masakini. Sebaliknya, boleh jadi seni rupa modern memutus ikatan dengan masalalu, mengandalkan wasiat “baru”, “terbaru”, “paling baru”, dan “paling terbaru”. Tentu, di sini yang terbaru itu terbaru dari yang dari yang lain, termasuk dari dirinya sendiri sebagai si masalalu.
Mungkin saya terlanjur menyederhanakan pemahaman tentang desain modern. Bukan demikian maksud saya. Ini hanya mencoba mencari sesuatu yang lain dari desain modern yang kurang meyakinkan dalam memandang keragaman fenomena desain “serupa tapi tak sama”. Desain modern bukan segalanya, pun dengan mazhab desain lainnya.
Bincang Cara: Unsur, Prinsip, dan Kekuatan Konteks
Bagaimana upaya membangun cara yang bisa diterapkan untuk mendesain, terutama dalam menempatkan kemiripan dan ketidakmiripan? Adakah cara tersebut? Saya pun mengumpulkan beberapa desain kemasan yang bisa digunakan untuk membangun cara yang dimaksud tadi. Sembari mengumpulkan berbagai desain kemasan, sembari pula saya baca-baca pustaka, baik yang mendukung langsung maupun tidak (rupanya yang mendukung secara tidak langsung lebih banyak yang saya baca, entah itu fiksi, atau pustaka psikologi, atau manajemen).
Sekian desain kemasan pun terkumpul. Sembari menghimpun sejumlah wawasan yang saya miliki, dan mencoba mengaitkannya dengan ilmu dasar dkv (unsur dan prinsip visual), tersusunlah diagram-posisi sebagai berikut. Anggap saja ini sebagai sebuah rintisan. Boleh jadi sudah ada yang mencipta serta mendayagunakan cara ini.
Apa yang dimaksud dengan unsur dan prinsip dalam diagram-posisi tersebut? Unsur dan prinsip di sini yakni dalam keilmuan desain elementer (nirmana). Unsur yaitu segala hal yang terlihat, misal garis, titik, warna, tekstur, bidang, dsb. Prinsip yaitu aspek pengorganisasian berbagai unsur seperti irama, repetisi, dominasi, kesatuan, kontras, tingkatan, kesederhanaan, keseimbangan, dsb. Ada pula yang mengategorikan keduanya dengan istilah unsur visual dan unsur perseptual. Kita tidak sedang fokus pada pembedaan tersebut, tetapi bahwa dalam satu kesatuan karya visual terdapat unsur dan prinsip visual yang bekerjasama dalam menyampaikan maksud-tujuan komunikasi visual.
Unsur butuh prinsip agar menjadi operasional, sedang prinsip butuh unsur agar tervisualkan. Contoh sederhana, desain kemasan sering menggunakan prinsip kontras untuk tujuan menarik perhatian, misal warna hijau dengan merah. Hijau dan merah sebagai warna (unsur), sedang kontras sebagai prinsip, keduanya bersama-sama bertujuan cepat menarik perhatian (kekuatan kontras).
Apakah hanya dengan menggunakan variabel unsur dan prinsip sebuah desain “serupa tapi tak sama” bisa gamblang terjelaskan? Tidak, masih perlu penjelasan lain misal konteks momen penerapan dan efek/gaung media. Contoh, kemasan Indomie edisi bulan Ramadhan dan kemampuannya untuk menjadi viral di media sosial saat ini.
Unsur dan prinsip dalam hubungannya dengan “serupa tapi tak sama” dapat menerapkan diagram-posisi di atas untuk mengindentifikasi dari sisi visual. Dari situ barulah mencari berbagai penjelasan di luar unsur dan prinsip. Setidaknya, diagram-posisi ini bisa membantu memetakan atau memahami derajat serupa dan tak sama, baik untuk variabel unsur maupun prinsip. Kita coba pahami lewat contoh terapan berikut.
Desain kemasan Indomie (Mi Goreng) edisi bulan Ramadhan, dengan edisi reguler. Kedua desain tersebut saya tempatkan di matrik “unsur tak sama, prinsip serupa”. Unsur utama yang tidak ada pada kemasan edisi bulan Ramadhan yakni objek sajian mi dengan telur dan sayuran. Dalam konteks bulan puasa objek mi, telur, sayuran menjadi unsur penting, sama pentingnya dengan piring kosong beserta garpunya. Unsur lain tetap dihadirkan serupa guna memertahankan identitas merek produk. Desain ini menarik, mampu membuka ruang percakapan bahwa yang puasa maupun yang tidak sama-sama hadir terlayani.
Percakapan “serupa tapi tak sama” juga berlangsung pada desain kemasan rokok. Sewaktu kita membeli rokok di warung sering kita jumpai berbagai kemasan rokok yang nyaris serupa sekaligus tak sama yang biasanya ditata di sebuah almari kaca. Unsur tak sama pada kemasan rokok umumnya dalam hal nama merek (dan logonya), sedang berbagai unsur serta prinsip lainnya bisa mirip-mirip (mendekati serupa).
Selanjutnya kita coba menyimak desain kemasan rokok bernuansa Djarum 76. Desain-desain tersebut berada dalam matrik “unsur dan prinsip makin serupa”. Meski terdapat perbedaan dalam hal nama (ada Djaman, Forum, Djaya, Djalur, dsb) namun ketiadaan konteks menjadikan perbedaan tersebut kurang terasa kekuatan nama-nama atau mereknya, sedang keserupaanlah yang jauh lebih terasa. Contoh ini saya ambil dan perluas dari penelitian tugas akhir Arief Aji Prasetya (DKV ISI Yogyakarta, 2004). Penelitian Arief tersebut membatasi diri membuktikan prosentase tingkat kemiripan. Hal menarik dari tugas akhir ini yakni pilihan konsepnya, “bernuansa “Djarum 76””, sebagai asal-usul berbagai prosentase tingkat kemiripan.
Apakah saat ini fenomena “serupa tapi tak sama” seperti halnya pada desain kemasan rokok “bernuansa Djarum 76” sudah berakhir? Tidak. Maraknya tren melinting belakangan ini disertai kemunculan berbagai merek dan desain kemasan tembakau. Berbagai merek tembakau tersedia dalam ragam variasi rasa. Beberapa desain kemasan merek tembakau mengacu, bernuansa, atau meng-asal-usul-kan diri dengan merek rokok tertentu.
Misal, ada kemasan yang menerapkan keserupaan dalam hal warna, ada yang memelesetkan nama merek rokok yang sudah dikenal, dsb. Bagi saya ini penting untuk dibincangkan, yakni aspek psikologi konsumen. Misal, boleh jadi siasat “serupa tapi tak sama” tersebut untuk memerkuat kekuatan daya sugesti. Sugesti ini secara bentuk perlu untuk diwujudkan. Kelakar sugesti ini bisa tertuju juga pada merek rokok kretek filter, seperti yang saya jumpai dari seorang teman perokok, “Surya sik dab” (maksudnya: Gudang Garam Surya duluan teman-teman), padahal yang dikonsumsi yakni rokok kretek filter merek “Aspro” (Catatan: Saat tulisan ini dikerjakan harga rokok kretek filter Aspro di bawah harga rokok kretek filter Gudang Garam Surya).
Demikian pula dengan kemasan kertas tembakau merek “Buffalo Bill” dan “Topi Asli”. Harga merek “Topi Asli” di bawah harga merek “Buffalo Bill”. Murahnya harga bisa menjadi indikasi merek dan desain kemasan mana yang diacu (asal-usul).
“Otak menyukai pola, suara, dan warna, maka ketiga hal ini perlu digunakan sesering mungkin.”
(Haryatmoko, 2020: 109-110)
Bincang Lanjut: Tawaran
Menutup perbincangan ini desain kemasan oleh-oleh kita ajukan untuk melihat praktik “serupa tapi tak sama”. Sependek yang saya jumpai serta amati berbagai desain kemasan oleh-oleh bergerak cukup dinamis dalam matrik “serupa tapi tak sama”. Kadang derajat tak samanya cukup tinggi, meski ada unsur serupa yang dipertahankan. Selalu, dan selalu ada unsur tak sama, setidaknya untuk nama merek. Dan, hampir selalu ada konteks menjadi serupa, misal konvensi, atau rasa kebersamaan (ikatan). Ini seperti halnya cara kerja identitas kolektif. Semakin kuat tingkat konvensinya, semakin tinggi derajat keserupaannya, terutama dalam hal prinsip visual (sintaks desain). Misal, sewaktu peringatan Hari Kartini masyarakat Indonesia, terutama perempuan, berpose mengenakan pakaian adat namun antar satu sama lain tidak selalu sama persis, entah kondenya, motifnya, dsb.
Konvensi ini penting, dan bisa digunakan dalam dua aspek. Pertama, kebiasaan penguna.(2) Kedua, membangun identitas bersama untuk membedakan diri dari identitas kelompok lain, misal sintaks desain kemasan Bakpia Pathuk berbeda dengan sintaks kemasan Getuk Trio, atau dengan sintaks desain kemasan Bandeng Presto Juwono. Tentang ini perbincangan bisa berlanjut pada identitas kolektif.
Dari penjuru desain kemasan sebagai identitas kolektif kita bisa membayangkan akan adanya tingkat keserupaan yang cukup tinggi. Rupanya tidak juga. Asumsi saya terkelabui oleh praktik desain-desain vernakuleran di lapangan. Apa yang saya atau kita jumpai justru keragaman derajat unsur dan prinsip “serupa tapi tak sama”: susah ditangkap ke arah mana polanya, tetapi masih bisa dikenali (tetap ada polanya juga). Bagi saya, ini sesuatu yang unik, sesekali membuat terkekeh. Orang bisa saja menilai bahwa dalam desain-desain seperti itu berlangsung akulturasi, inovasi, atau bentuk-bentuk “ya silakan” sekaligus “tapi jangan”, atau “kalau bisa”. Ini, dalam hal tertentu, bukan hal yang mudah, walau dalam bingkai kebudayaan multikultural hal tersebut menggambarkan lenturnya sikap mencipta dan menerima satu sama lain.
Boleh jadi desain modern kurang memuaskan dalam menjawab nuansa kolektif desain-desain vernakular, dan jangan sampai desain modern menghukum gerak hidup yang luwes-dinamis tersebut. Usaha untuk ada dan bergerak di antara yang kolektif dan berusaha untuk tak sama perlu diapresiasi. Dan, bagi merek yang jeli menangkap konteks serta momen(tum), berpeluang menjadi asal-usul dalam ruang kolektif yang mampu memberi nuansa terobosan. Desain modern itu linier, nyaris melulu fungsi, sedang desain kontemporer atau vernakular boleh jadi lebih, apa ya, akrobatik. Singkat kata, sebuah inovasi juga bisa tercipta dari konvensi atau kolektif karena keluwesannyan itu tadi (bukan hal yang aneh juga jika saat ini ruang-metode kerja desain mendukung untuk sikap kolektif).
Manakala sebuah desain kolektif berniat untuk serupa, boleh jadi itu bukan kehendak untuk meniru tetapi membangun/memerkuat/berbagi rasa kebersamaan. Atau, karena kurang yakin dengan gagasan yang sedang diciptakan. Tentang ini tidaklah saya bicarakan lebih lanjut, namun dari diagram-posisi di atas peluangnya berada dalam menemukan konteks yang tepat bagi praktik desain.(3) Persoalan bagaimana memberikan bentuk, barulah diagram-posisi tersebut bisa diuji-gunakan: sawang lan sinawang, alias saling melihat satu sama lain, atau bersama yang lain. (Koskow, Mei 2021)
Catatan Akhir:
(1) Tulisan ini sempat dibincangkan langsung bersama Andreas Novendito (mahasiswa angkatan 2017 DKV ISI Yogyakarta), dan Gamaliel W. Budiharga (biro desain Kotasis) melalui percakapan whatsapp.
(2) Tentang konvensi dan desain desain web (UI UX) dapat membaca buku Steve Krug, “Don’t Make Me Think!” (terjemahan). Dalam buku ini disampaikan keengganan desainer untuk menggunakan konvensi, sebaliknya desainer lebih senang menciptakan-kembali sesuatu yang sudah ada. Saran Steve Krug yakni lakukan inovasi saat kita yakin memiliki ide yang lebih bagus (dan orang-orang akan mengatakan “wow”), sebaliknya manfaatkan konvensi ketika kita tidak yakin dengan ide tersebut. Dalam konteks perbincangan kita tentang “serupa tak sama” yakni adanya fakta bahwa penguna suka dengan konvensi, dengan pola yang sudah dikenali karena itu memudahkan.
(3) Diagram-posisi di atas sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Sebagai alat maka dari situ bisa diramu-kelola sejauh mana dekat dengan konvensi, atau serupa, dan hingga batas mana mampu menawarkan nuansa yang lebih inspiratif, atau tak sama. Untuk yang pertama, praktik meramu-kelola, ini hal umum dalam mendesain, sedang untuk yang kedua, mengenai nuansa atau gagasan yang inspiratif, berada di luar diagram-posisi unsur & prinsip visual. Dalam konteks design thinking desain merupakan satu dari sekian tahap dalam keseluruhan proses yang dijalani. Dalam pemahaman saya budaya vernakular itu luwes, dan keluwesan ini menjadi modal penting dalam design thinking karena prosesnya yang kerap bolak-balik dalam mencari solusi terbaik (bukan selalu terbaru).
Pustaka:
“Imajinasi yang liar lebih kuat dari lirik yang sok mau jelas.”