Dengan mengangkat kembali ‘Proses’ sebagai gagasan besar dari kampanye menuju keikutsertaan di ajang pameran grafika terbesar di Indonesia, FGDexpo 2015, Desain Grafis Indonesia pun hadir dengan menampilkan langkah awal cita-cita utama DGI, Museum Desain Grafis Indonesia. Mengisi ruang 3 x 3 meter di ruang pamer Hall B Jakarta Convention Center sepanjang 6-9 Agustus 2015, Desain Grafis Indonesia mendirikan sebuah museum mini yang mempertemukan kembali para pengunjung dengan sejumlah arsip artefak grafis asli yang dibuat oleh para desainer senior Indonesia.
Tak hanya sebagai langkah awal dari cita-cita besar DGI untuk mendirikan Museum Desain Grafis, Mini Museum DGI di FGDexpo 2015 ini juga hadir sebagai sebuah tawaran untuk menjawab kembali pertanyaan yang diajukan sepanjang kampanye berlangsung. Lewat pendekatan yang cukup menyentil, bersama FullFill Artplication selaku kolaborator dalam perencanaan FGDexpo 2015 ini, DGI membagikan lima poster kampanye di media sosial sebagai respon terhadap era “Yaelah-Gampang-isme“. Ketika era serba cepat ini menawarkan sekaligus menuntut yang serba praktis dan serba cepat, praktik desain grafis pun cenderung digampangkan: serba cepat, mengompromi penjiplakan, mengabaikan pesan, dan mengabaikan fungsi.
Melihat kecenderungan tersebut, FullFill pun berinisiatif untuk melihat kembali pada para senior desain grafis di Indonesia yang menjadikan proses sebagai bagian paling utama dalam proses kerja desain. Kilas balik akan pentingnya proses ini dihadirkan pada para pengunjung melalui poster yang turut menghiasi dinding Mini Museum DGI.
Di Mini Museum DGI ini para pengunjung juga bisa menemukan berbagai buku yang telah diterbitkan oleh DGI Press untuk melengkapi literasi desain mereka. Tak ketinggalan, buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia yang akan menjadi buku sejarah desain grafis pertama di Indonesia juga dapat ditemukan wujud fisiknya di museum mini ini.
Untuk kembali mengangkat proses sebagai bagian terpenting dari kerja desain, Desain Grafis Indonesia juga menyelenggarakan Bincang DGI dengan tajuk “Yaelah, Gak Segampang Itu: Membangun Kembali Budaya Proses dalam Desain Grafis”. Bertempat di Open Space Plenary Hall B Ruang 3D Printing Expo, Bincang DGI mengisi hari Minggu para pengunjung dengan perbincangan yang dibagi ke dalam dua sesi.
Dimoderasi oleh Adityayoga, Bincang DGI diawali dengan wicara bersama para nominator IGDA 2010 dalam sesi #menujuIGDA2. Mendiola Wiryawan, Ritchie Ned Hansel, Gissella, dan Yasser Rizky membagikan pada para pengunjung mengenai keikutsertaan mereka di IGDA 2010 dan berbagai macam aspek yang menjadikan mereka sebagai pemenang dan nominator.
Tak ketinggalan, dalam sesi tersebut, Isworo Ramadhani selaku Managing Director dan Iwan Gunawan selaku Ketua IGDA 2 juga hadir dan mengundang antusiasme pada para pengunjung untuk turut menjadi bagian dari IGDA 2.
Ajang penghargaan bermartabat bagi desainer grafis di Indonesia tersebut akan hadir kembali dan dapat dikunjungi di situs igda.dgi.or.id.
Menjelang sore, Bincang DGI mengulik lebih dalam mengenai proses bersama Eric Widjaja, Teddy Aang dan Michael Owen dari FullFill Artplication, THRIVE Motorcycle, serta PoLA Artistry. Hadir membawakan sejumlah studi kasus yang menyegarkan—seperti kasus penjiplakan hingga kontroversi hasil rancangan—para pembicara menekankan kembali betapa proseslah yang menjadikan desain grafis bernyawa. Sesi ini dimoderasi oleh Ismiaji Cahyono selaku Bureau Chief DGI.
Mini Museum DGI dan Bincang DGI di FGDexpo 2015 terlaksana berkat dukungan dari ILITHO, Designasea—Pantone, dan Surya Palace Jaya. ***
The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life