Desain Sosial Kampanye Anti Narkoba

Dalam satu bulan terakhir ini, harian Kompas banyak menurunkan artikel dan liputan perihal narkoba. Fokus utama pemberitaan tersebut lebih membidik pada aspek penegakan hukum bagi pengedar maupun korban penyalahgunaan narkoba.

Sejumlah data menyebutkan, 97 persen masyarakat Indonesia mengetahui efek samping penyalahgunaan narkoba. Ironisnya, perilaku negatif seperti itu dianggap sebagai angin lalu. Hal itu mempertegas asumsi Unit Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba (UP2N) Universitas Gadjah Mada, bahwa faktor pemicu penyalahgunaan dan peredaran narkoba di kalangan mahasiswa karena kurangnya informasi mengenai dampak narkoba bagi kesehatan.

Sementara itu, sosialisasi informasi perihal efek samping penyalahgunaan narkoba dengan memanfaatkan media desain grafis, desain komunikasi visual ataupun iklan layanan masyarakat (public service advertising) sudah banyak dilakukan oleh parapihak yang terkait dengan isu nasional ini. Secara nyata, bisa kita saksikan sejumlah desain sosial kampanye anti narkoba yang ditayangkan, dipancangkan dan disebarkan ke berbagai kantong aktivitas masyarakat.

Sayangnya, pemanfaatan media komunikasi visual dalam rangka kampanye anti narkoba itu tidak diikuti dengan perancangan desain komunikasi visual yang efektif dan komunikatif. Dari aspek jangkauan komunikasi dan tampilan desain visual terkesan sporadis, tidak ada benang merah antara desain sosial yang satu dengan desain sosial lainnya. Dampak lebih luas, pada waktu yang bersamaan masyarakat menyaksikan pesan yang berbeda-beda, dan tidak ada focus interestnya

Dalam konteks ini, sering kita jumpai berbagai bentuk komunikasi pesan desain sosial anti narkoba dengan penyajian ide dalam kemasan komunikasi visual cenderung bersifat paritas, membosankan dan tidak mampu mengedukasi target sasaran.

Tampilan visual desain sosial kampanye anti narkoba senantiasa menyajikan fragmen pengguna narkoba lengkap dengan asesorisnya: jarum suntik, bong penghisap, lintingan rokok, daun ganja, berbagai macam pil surga, terali besi penjara, borgol, rumah sakit, kuburan dan tengkorak. Dengan visualisasi verbal-visual yang ceriwis dan mengedepankan pendekatan negativisme ini, dampak komunikasinya justru antiklimaks. Artinya target sasaran merasa dibodohi. Mereka tidak mendapatkan sesuatu dari media komunikasi yang disampaikan oleh para komunikator.

Akibat yang muncul kemudian, kepedulian dan apresiasi masyarakat akan pentingnya informasi efek samping penyalahgunaan narkoba dalam kemasan perancangan desain komunikasi visual sebagai medium penyampai pesan menjadi kurang berarti.

Dampak komunikasi semacam itu tentu bertolak belakang dengan semangat Iklan Layanan Masyarakat (ILM), Public Service Advertising (PSA), atau populer dengan sebutan desain sosial.

Sebab keberadaan desain sosial diterjunkan sebagai alat untuk menyebarluaskan pesan-pesan sosial kepada masyarakat dengan cara penyampaian yang berpedoman pada metode periklanan komersial. Tujuannya agar kelompok tertentu dalam masyarakat mau memikirkan, syukur-syukur turut terlibat secara aktif seperti yang dimaksudkan oleh pesan dalam iklan tersebut. Desain sosial jamaknya berkutat pada persoalan sosial. Biasanya tema-tema tersebut disesuaikan dengan masalah sosial berskala nasional yang sedang aktual di tengah masyarakat.

Melalui ILM orang bisa diajak berkomunikasi guna memikirkan sesuatu yang bersifat memunculkan kesadaran baru yang bersumber dari nurani individual maupun kelompok. Di antaranya, hal-hal yang berorientasi tentang lingkungan hidup, sosial kemasyarakatan dan kebudayaan. Semuanya itu adalah fenomena yang ada di seputar kita yang sebenarnya telah kita ketahui dan rasakan, namun tak pernah terpikirkan karena mungkin tidak menghantui, menyangkut, bahkan mengusik kepentingan kita secara langsung!


Sumbo Tinarbuko Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta

Quoted

“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”

Arif 'Ayib' Budiman