“Pergi ke” Melibatkan
“Kembali ke”

131004_DGI_Thank_You_Ok-560x560

Tidak ada yang mendukung atau juga yang membenci sebuah kicauan. Yang ada mungkin mereka yang menikmati dan yang kritis akan kicauan tersebut. Tulisan sederhana kali ini berusaha memberi bacaan pendamping, terutama bagi yang memilih untuk menjalani diri sebagai seorang desainer grafis, terutama yang memandang DGI sebagai salah satu (dari sekian ruang yang ada) sebagai ruang belajar.

 

MEDIA: (MEN)DEKATNYA DKV 

DKV dekat dengan tren atau kebaruan, pula terkait dengan wacana. Era 1990an, seingatku, DKV diminati terutama bidang periklanan. Waktu itu ayahku menyarankan agar setelah aku lulus kuliah DKV bekerja di periklanan. Pergi ke iklan mungkin disebabkan saat itu televisi swasta sedang bertumbuh dan salah satu yang (secara) disiplin hadir yaitu iklan. Kita boleh bilang bahwa DKV sangat dekat dengan media, terutama media-media baru (intensitas). Dalam perjalanannya, aku memilih bidang lain, yaitu desain penerbitan.

Mengapa aku tidak pergi ke iklan? Tentu bukan karena pergi ke iklan merupakan pilihan yang keliru. Bukan. Aku tidak pergi ke iklan karena rupanya masa kecilku dekat dengan perbukuan, ya buku-buku ayahku. Jika ayahku berkata “Pergilah ke iklan”, rupanya buku-buku ayahku itulah yang jadi tempat ke mana aku pergi nanti. Mungkin jika rumahku saat itu dipenuhi siaran televisi dan majalah-majalah gaya hidup, aku akan pergi ke iklan mengingat iklan kerap hadir di media-media tersebut. Jika masa kecilku kerap kuhabiskan di depan kotak kaca, bisa jadi aku akan pergi ke dunia kotak kaca tersebut esok nanti.

Sialnya, masa kecilku kuhabiskan bersama teman-teman, sepedaan atau main bola, sesekali membaca-baca buku (salah satunya komik). Singkatnya, masa lalu seseorang sedikit banyak turut campur di masa depan. Buku-buku sosial menamainya habitus, semacam kultur lingkungan dan kebiasaan yang nantinya, atau di kemudian hari, ia berpotensi menjadi modal bagi ingatan dalam mendisain.

 

DESAINER: (BER)POSISI TAWAR

Jangan keliru menafsirku. Aku tetap melihat iklan, namun dengan cara tertentu. Bahkan, rasa ingin pergi ke iklan tetap ada (hal tersebut sedang aku lakukan saat ini, meski belum dapat dikatakan aku benar-benar sudah sampai di iklan). Rasa ingin ini terlebih dahulu diawali oleh suatu sikap terbuka atau cara konstruktif dalam memandang iklan. Artinya, jika seseorang hendak menekuni suatu bidang sebaiknya hal itu dimulai lewat cara bagaimana memandang bidang tersebut. Penerbitan misalkan. Bagiku penerbitan buku tak sebatas bikin buku, cetak, jual dan laku. Bukan. Penerbitan buku juga dikerjakan melalui cara-cara budaya seperti diskusi, resensi, hingga cara memandang DKV dalam penerbitan dengan cara-cara tak sebatas jualan, eksperimen misalkan.

Seorang desainer mestinya memiliki nilai tawar, memiliki visi dan gagasan. Jika desainer tak memiliki visi dan gagasan, ia seperti pergi ke namun tak tahu apa yang harus dikerjakan. Ia tak memiliki posisi tawar, alias tak memiliki sesuatu untuk diperjuangkan. Jika ini terjadi, kritisisme gagal diterapkan oleh seorang desainer. Kritisisme desainer inilah yang senantiasa perlu ditumbuhkan. Bagaimana kritisisme gagal? Kritisisme gagal dapat disebabkan desainer miskin wawasan, miskin wacana, dan jangan-jangan miskin cara bertanya. Lebih menyedihkan lagi miskin imajinasi tentang aku, desain, dan masa depan. Lagi pula, saat ini desainer kian bermunculan. Sangat kompetitif.

Buku-buku metode mendisain juga menuliskan perihal glass box dan black box. Glass box digunakan guna menjelaskan bahwa proses mendisain mesti teramati, tercatat. Artinya, disadari. Salah satu penjelasannya yaitu melalui alur kerja (bagan). Sebaliknya, black box digunakan untuk menjelaskan hadirnya dimensi bawah sadar antara lain insting, mimpi, dlsb. Baik glass box maupun black box masih dapat digunakan dalam proses mendisain.

Terdapat pula cara lain dalam mendisain yaitu ingatan, interteks, dlsb. Ingatan, kerap bekerja dan mempengaruhi cara seseorang sewaktu mendisain sesuatu. Ingatan bekerja melalui tahap stimuli yang disimpan dalam long term storage seseorang. Semacam ada rak atau laci dalam pikiran manusia yang menjalankan peran sebagai si penyimpan. Demikian pula interteks, ia bekerja lebih gesit dalam artian terpengaruh sana sini. Interteks juga menjelaskan bahwa tak ada yang baru dalam dunia ini, yang ada hanya pengulangan. Otentisitas nyaris tak mendapat tempat dalam pengertian kerja interteks.

Namun, rupanya tak selalu demikian. Interteks justru berpeluang memperlihatkan sisi petualangan seorang desainer dalam menjelajahi rimba wawasan hingga ke sana sini. Artinya, kerja interteks sebenarnya kerja explorer, mirip-mirip tokoh film kartun Dora, membutuhkan peta tapi minus ransel ajaib.

 

DESAINER: SI PEMBACA

Jaman hiper informasi seperti saat ini kian menggoda desainer bekerja secara interteks. Kerja interteks jadi tangkas manakala desainer tahu bagaimana mengelola beragam teks. Interteks jelas merupakan kerja pembacaan. Pembacaan tak lain mencari tahu arti suatu teks, arti suatu tanda beserta konteks yang melatari hadirnya teks/ tanda tersebut. Persis di sini desainer membutuhkan wawasan sejarah dan kemampuan memaknai. Asal ambil teks/ tanda dapat menjadikan desain yang dirancang terkesan klise, sebatas mengulang-ulang, alias tak memberi tawaran baru di tingkat makna tanda. Orang-orang menyebut kerja tersebut dengan nama kopas, copy-paste.

Salah satu cara menghindari kemudahan proses mendisain dengan cara kopas yaitu dengan kerja (di) lapangan, alias pengamatan. Kerja mengamati bisa dimengerti sebagai sebuah kerja induktif, yaitu mencari hal-hal spesifik guna membangun sebuah konsep desain. Sedangkan kerja deduktif tak lain kerja yang mengambil sesuatu yang sudah jadi dan menerapkan ke dalam desain yang akan dirancang. Keduanya tetap digunakan, pula secara bersamaan. Di satu sisi kita memulai lewat sesuatu yang sudah diistilahkan/ dibakukan, di lain sisi kita berusaha memberi tawaran baru. Hanya saja, kerja induktif mesti digiati dengan alasan proses mengamati tak lain proses yang kita lakukan sendiri, dan itu melibatkan seluruh panca indera kita.

Mengamati tak sebatas datang, lihat, catat. Mengamati juga melibatkan konsep-konsep yang selama ini kita amini. Maka itu, dalam mengamati sedapat mungkin menunda konsep-konsep yang sudah jadi. Istilah menunda dipilih dibanding istilah membatalkan. Setidaknya dalam mengamati kita menyadari bahwa pengamatan tersebut tidak netral dalam artian sebelumnya sudah hadir suatu konsep tertentu yang mengarahkan kita dalam proses mengamati tersebut. Kerja mengamati itulah yang sebenarnya memberi pilihan keragaman metode mendisain. Dulu, aku ambil pusing dengan mengamati suatu karya desain. Aku memulai lewat suatu pengertian yang sudah jadi alias siap pakai. Misalkan, desain poster adalah. Kedekatanku dengan dunia seni (fine art) menyebabkan aku menyadari bahwa karya mampu menjadi sumber kemajuan pengetahuan. Hanya saja kita mesti mencari tahu mengapa/ bagaimana sebuah karya memiliki suatu kualitas tertentu. Pendeknya, kemampuan mendisain juga dipengaruhi kemampuan membaca karya.

Kemampuan mendisain perlu disertai kemampuan mengapresiasi (tidak sebatas menyampaikan bagus). Karya yang baik juga dimulai lewat pengetahuan yang benar. Penciptaan yang canggih menyertakan pengkajian yang juga canggih. Kemampuan retorik (bicara) mengandaikan kemampuan hermeneutik, menafsir (membaca). Keluasan wawasan berkarya membutuhkan keluasan diri yang melalang buana.

 

MENDESAIN: (MENG)GERAK(KAN) 

Menjadi desainer senantiasa bergerak. Seperti yang kuingat kata-kata Albert Einstein, “jika kau tak bergerak maka kau akan jatuh”, tertulis dalam penjelasan (caption) foto Einstein sedang mengendarai sepeda. Kutukan menjadi desainer tak lain harus selalu bergerak ke. Indonesia juga diawali oleh sebuah pergerakan yang memutuskan untuk menjadi merdeka: sebuah (ke)putus(an) dari untuk pergi ke. Intinya, desainer dalam dirinya diharapkan mengandung suatu gerak revolutif, pergerakan, bukan kemandegan atau sebatas kerja mengulang, mengulang, dan mengulang. Maka tak aneh jika ada sebuah grup bernama “DKV Bergerak”, atau sebuah komunitas dengan nama “Ketjil Bergerak”. Pertanyaannya, kita mesti bergerak ke mana, untuk tujuan apa, dan bagaimana gerakan tersebut dijalankan?

 

MENDESAIN: BERWACANA

Wacana merupakan salah satu peluang bagaimana desainer bergerak. Jika kata “kreatif” identik dengan desain era 1980-an dan 1990-an (bisa jadi saat ini kata tersebut masih saja diterima begitu saja), wacana dapat dijadikan suatu pilihan bagaimana dan untuk apa sebuah desain diciptakan. Wacana jadi penting karena dengan disertai kemampuan dalam wacana menjadikan sebuah desain tidak jatuh ke dalam keklisean. Pergi ke setidaknya dapat diteruskan menjadi pergi ke wacana. Kembali ke pun juga dapat diteruskan menjadi kembali ke wacana. Artinya, sebuah wacana mesti diperiksa ulang mengingat seseorang mudah terharu (tergoda) oleh sesuatu yang instan, populis, atau sesuatu yang melodramatik, contohnya gerakan aktivisme yang menyerukan go green tetapi dalam tindak lakunya tidak bermetode green.

Wacana mesti ditempatkan sebagai pengetahuan yang mengawali seluruh proses mendisain. Penempatan di awal jadi penting agar desain yang dirancang terbebas dari bias atau prasangka, artinya jangan sampai mengulang lagi bias atau prasangka tersebut. Contohnya, merancang suatu kampanye tolak pornografi tetapi memperlihatkan gambar/foto porno. Penggunaan (ulang) obyek porno tersebut selain memiskinkan tanda juga justru menikmati pornografi itu sendiri: sebagai obyek tontonan (pleasure, plesiran hingga ke wilayah histeris). Contoh tersebut menjelaskan bahwa kemampuan mendisain perlu diikuti kemampuan mencipta tanda baru yang menyadari diri bahwa prasangka selalu ada dan untuk itu kemudian tidak dihadirkan kembali. Contoh lain, wacana lingkungan (eco design, green design, sustainable design) perlu dikerjakan melalui tema serta material yang ramah/ dekat dengan lingkungan di mana desain tersebut mau ditempatkan. Contoh terdekat yaitu bagaimana menjelaskan suatu kampanye (meme) bahwa setelahnya hanya terdapat dua kelompok desainer grafis Indonesia: pendukung atau pembenci, seolah tidak ada kelompok lain yang bukan keduanya. Hal ini mau menyampaikan bahwa dalam diri si pendukung mengendap sisi benci juga, alias membenci juga didominasi oleh si pendukung (prasangka). Maka itu jadi benar bahwa yang diperlukan yaitu dielaktika yang konstruktif dalam membangun diri sebagai desainer grafis Indonesia. Hanya saja ajakan ini telah dimulai lewat pemartisian kelompok: pendukung, atau pembenci.

Ringkas kata, sebelum mendisain seorang desainer terlebih dahulu mesti memeriksa (prasangka) dalam dirinya sendiri, agar kerikil di lubuk kaki tak menjungkal langkah kala menjalani profesi lewat denyut hati. (Catatan: lihat judul “Wacana (Discourse)” pada bagian “Lampiran” dalam tulisan ini.) Ringkasnya, menjadi desainer hari ini tidak sebatas bermodal kata kreatif. Kata kreatif harus (selalu) dimaknai ulang. Bahkan, kreativitas dipahami begitu saja sebagai suatu kenyelenehan. Kreativitas justru menyampaikan suatu kedisiplinan. Salah satu pilihan membangun kritisisme yaitu melalui (ber)wacana. Maka pertanyaannya bukan sekreatif apa desain yang mau dirancang, tetapi wacana apa yang dilibatkan dan diperjuangkan. Kemampuan berwacana, lagi-lagi, diperoleh lewat budaya membaca (dan menulis!), budaya diskusi, budaya bertamu dan bercakap-cakap di sana sini, serta budaya otokritik. Pendek kata, selain kutukan agar senantiasa bergerak, desainer juga melaku diri sebagai si pembaca, si pengamat, si penafsir, yang nantinya semua hal tersebut bermuara ke dalam suatu karya rancangan. Kerja mendisain ibarat kerja melancong, minggat dari suatu tempat yang sudah mapan untuk pergi ke dan senantiasa kembali ke dalam artian memeriksa ulang semua tahap mendisain yang sedang dijalani.

 

KERJA DESAIN: DI (DALAM) WAKTU SEPI-SEPI

Tulisan ini memungkasi lewat memaknai kembali apa yang dinamai sibuk. Sibuk merupakan kata yang menjelaskan betapa seseorang aktif dan produktif. Bagiku tidak selalu demikian. Meski desainer senantiasa diminta bergerak dan pergi ke serta kembali ke, cara desainer menggelola waktu juga menjelaskan sejauh mana kualitas karya yang dihasilkan. Justru orang selo (luang waktu) yang berpeluang menciptakan karya yang berkualitas. Dalam rezim modern(isme) waktu selo hampir selalu dimaknai sebagai praktik buang-buang uang, tidak produktif. Padahal tidak. Waktu selo justru diperlukan. Berada di dalam waktu selo menjadikan seseorang memiliki ruang guna menghayati proses yang sedang/ selama ini dijalani.

Maka itu diantara kepadatan jam kuliah dan agenda sana sini, seorang desainer mesti menyediakan waktu selo: ruang lowong yang digunakan guna menata kembali proses mendisain yang sedang/ selama ini dijalani. Bukan waktu sepi, tetapi sepi-sepi. Konon, estetika tercipta dalam pengertian ruang macam ginian. Kira-kira ini yang dapat aku sampaikan. Semoga tulisan ini tak mengurangi harapan dalam memutuskan diri menjadi desainer di zaman yang (kelihatannya) sangat sibuk seperti saat ini: klik sana, klik sini. Aku mau sepi-sepi, memeriksa kembali apa-apa yang selama ini sudah diterima begitu saja sebagai satu-satunya kebenaran. Lantas, apa yang mesti aku baca?

 


Tulisan ini pernah disampaikan pada Kuliah Perdana Desain Komunikasi Visual Unika Soegijopranoto Semarang, 16 September 2013. Tulisan telah mengalami perubahan tanpa mengurangi substansi asal.


 

LAMPIRAN

Tulisan “From User-Centered to Participatory Design Approaches”, oleh Elizabeth B.-N. Sanders, dalam buku “Design and the Social Sciences: Making Connections”, editor Jorge Frascara, Penerbit Taylor & Francis, New York, 2002.

Dalam tulisannya tersebut, Elizabeth B.-N. Sanders menyampaikan proses desain bergerak dari user-centered design process ke participatory culture, yaitu ke wilayah pengalaman pengguna (design for experiencing). Dituliskan bahwa di awal era 1980an proses desain berpusat pada user, dimana desainer diperantarai oleh ilmuan sosial (peneliti) yang tugasnya–seturut tuturan Elizabeth B.-N. Sanders selaku peneliti–”My role was to know the user and to translate that knowing into principles and prescriptions that the designers with whom I worked could understand and use. We called this the user-centered design process.” (halaman 1).

Dijelaskan pula bahwa tugas ilmuwan sosial yaitu sebagai perantara pengguna dengan desainer. Tugas ilmuwan sosial tersebut yaitu mengoleksi data atau sumber-sumber sekunder untuk dipelajari. Setelah itu menginterpretasikan informasi, seringnya dalam format kriteria desain. Sedangkan, tugas desainer menginterpretasikan kriteria melalui sketsa konsep atau skenario. Selanjutnya fokus kerja berlanjut pada proses desain (development). Ringkas kata, ilmuwan sosial/ si peneliti beserta user tidak kembali lagi ke dalam proses desain. In user-centered design, the roles of the researcher and the designer are distinc, yet interdependent. The user is not really a part of the team, but is spoken for by the researcher.” (halaman 1).

Di akhir 1999 terdapat perkembangan dalam proses desain yaitu konsep participatory experiences. Konsep tersebut menyampaikan bahwa batas antara desainer dan peneliti menjadi blur, dan user jadi komponen penting dalam proses desain. “People want to express themselves and to participate directly and proactively in the design development process.” (halaman 2). Era ini ditandai perkembangan dunia teknologi komunikasi yaitu internet dimana dalam masyarakat net berlaku prinsip komunikasi vertikal, bukan lagi (sebatas) horisontal. Dalam dunia pemasaran hal tersebut dinamai new wave marketting, yaitu pemasaran yang melihat konsumen sekaligus prosumen (produsen sekaligus konsumen). (Catatan: New wave marketting dapat dilihat di beberapa tulisan/buku Hermawan Kertajaya, salah satu sosok pemasaran di Indonesia dan beberapa bukunya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa).

Lantas, apa yang dimaksud dengan design for experiencing? Istilah ini perlu dimengerti bahwa desainer perlu mengetahui pertemuan antara apa yang disediakan oleh komunikator dan apa yang dibawa/terdapat dalam komunikasi tersebut sebagai sebuah interaksi. Jadi, ini soal apa yang disampaikan pengguna dan bagaimana penyampaian tersebut menjadi sebuah interaksi. Jika dulu user spoken for oleh peneliti (dijurubicarai), saat ini desainer mesti mengetahui langsung. Lalu, bagaimana desainer mengakses pengalaman tersebut? Elizabeth B.-N. Sanders menuliskan lebih lanjut sebagai berikut. We can listen to what people say. We can interpret what people express, and make inferences about what they think. We can watch what people do. We can observe what people use. We can uncover what people know. We can reach toward understanding what people feel. We can appreciate what people dream. (halaman 2-3). Pendeknya, “Seeing and appreciating what people dream shows us how their future could change for the better.” (halaman 3).

Cuplikan di atas sebatas mau menyampaikan bahwa: (1) menjadi desainer tak lain menjadi seorang pengamat. Proses mengamati tersebut tidak terdapat dalam buku, namun menjumpai langsung di lapangan. Perhatian amatan yaitu pada soal apa yang disampaikan pengguna dan bagaimana penyampaian tersebut menjadi sebuah interaksi. Kata kunci mendesain salah satunya melihat pengalaman pengguna, pengalaman orang-orang bagaimana mereka berkomunikasi dan terutama bagaimana komunikasi tersebut merupakan/menjadi praktik interaksi; (2) Demikian pula dengan perkembangan pendekatan dalam proses desain yang juga selalu bergerak seturut perkembangan dunia di luar desain.

 

WACANA (DISCOURSE) 

Wacana, dalam buku “Komunikasi Sebagai Wacana” (Ibnu Hamad, La Tofi Enterprise, Januari 2010) dijelaskan sebagai “tindakan kita menggunakan bahasa sesuai kaidah tata-bahasa tetapi kita masukkan kedalamnya unsur-unsur non-bahasa. Di sini, kita tidak lagi sekadar berbahasa atau menulis ketika hendak menyampaikan pesan. Kita bukan sebatas mengikuti tata bahasa ketika menggunakannya untuk berkomunikasi. Kita menambahkan unsur-unsur non-bahasa entah itu kepentingan pribadi, ekonomi, politik, ataupun ideologi kedalam bahasa.”

Lebih lanjut ditegaskan pula bahwa: “Diakui atau tidak, kita memakai wacana karena kita ingin memperjuangkan kepentingan-kepentingan kita itu.” (halaman ix). Dalam buku “From Archetype to Zeitgeist” (Herbert Kohl, Little Brown and Company, 1992) dituliskan bahwa wacana/discourse: “In ordinary language, the word discourse is used to describe speech or writing that express ideas, values, or opinions. People discourse on subject as authority, war, love, music, the state of politics and other issues of social, cultural, economic, and political concern.” Lebih lanjut dijelaskan bahwa wacana “is more formal than casual conversation and is often argumentative” (halaman 59).

Kedua penjelasan tersebut menggambarkan bahwa wacana merupakan suatu praktik berkomunikasi dimana ia lebih formal dibanding casual conversation dan mengandung argumentasi. Praktik komunikasi wacana tersebut melibatkan kepentingan, atau disebut unsur non-bahasa. Ringkasnya, wacana jadi penting karena ia menyertakan ideologi dominan yang mempengaruhi masyarakat dimana hal tersebut terhubungkan dengan kekuasaan (posisi kelompok dominan). Konflik dalam masyarakat dapat hadir dalam wujud perang wacana dan kekuasaan, pertarungan antara kelompok dominan dan kelompok yang berlawanan (other ideologies that are used by those who oppose the dominant group).

Quoted

Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total

Bambang Widodo